Saturday, May 31, 2008

And the Winner Is...?

Pemenang Lomba CerMin
(Perempuan : Cerita, Cita dan Cinta)

Salam,

Setelah melewati 3 tahap penentuan, akhirnya Lomba Cerita Mini dengan tema Perempuan : Cerita, Cita dan Cinta, memasuki episode 3 besar.

Dari hasil penjurian yang dilakukan oleh :

1. Benny Rhamdani (penulis dan editor cerita anak dan remaja)
2. Bagus Herawan (Indosiar.com)
3. Roni Fahrozi (Indosiar.com)

dengan penilaian yang meliputi 3 kategori penilaian utama yaitu :

- orisinalitas
- cara pemaparan/kelancaran menuangkan ide
- dan logika cerita

dari 10 besar Cermin, 3 cermin yang berhasil menjadi pemenang adalah :

1. Cinta Tak Butuh Kekerasan, dengan total nilai 237
2. Rumus Pintar Mbok Nah, dengan total nilai 232
3. Cinta Perempuan Baja, dengan total nilai 216

Sedangkan Cermin Dua Srikandi Inspirator (nilai 206), berhasil menjadi Cermin Favorit pilihan para netters indosiar dengan 391 pemilih, mengalahkan Mama, Sekeping Inspirasi Tentang Kehidupan (dengan nilai 200, 150 pemilih).

Selamat kepada para pemenang!

==========================================================================

Untuk Nunik, selamat ya, kamu hebat! Masuk tiga besar euy! You deserved it, sweety! :-)

Sedang naskahku sendiri diberi nilai oleh dewan juri sebesar 206. Mungkin tertinggi nomor empat kah??? Entahlah... hehehe, berusaha menghibur diri...

Jujur setelah membaca naskah yang sudah dipampang di halaman website Indosiar, aku merasa ada sesuatu yang 'menggantung' di paragrap akhir!

Soalnya pas mengarang itu aku panik sendiri karena keterbatasan jumlah halaman dan word, hanya boleh maksimal 7000 kata! Aku kebiasaan nulis panjang, huhuhuhu...

Aku sempat kebingungan mengakhiri naskah dan kuputuskan dieksekusi begitu saja tanpa membuat paragrap penutup. Padahal naskah yang bagus kan harus diawali dengan pembukaan berisi latar belakang, isi cerita dan penutup yang berisi kesimpulan.

Anyway, aku jadi belajar banyak dari ajang lomba seperti ini :-)

Untuk semua yang sudah VOTE, terima kasih banyak ya, karena sahabat semua lah, naskahku dinobatkan sebagai PEMENANG FAVORIT

Selamat untuk kita semua. Kemenangan favorit ini milik kita semua warga MP-ers nih :-D

PS.
Jurinya cowok semua dan lima besarnya cewek semua, apakah itu artinya??? hehehe...

Wednesday, May 28, 2008

Sahabat tercinta,

Ihiks, dari tanggal 24 kemarin, akses internetku di-suspended sama XL Centrin, gara-gara akunya lupa bayar dan keburu jatuh tempo. Jadilah hari ini bangun pagi-pagi dan panik menuju ATM Mandiri, lalu gegas ke CentrinOnline. Di sana minta maaf dan mohon suspension-nya dicabut dan boleh meneruskan kontrak tanpa harus buat kontrak baru lagi. Huhuhu..., Masnya baik, ID ku dibuka kembali suspended statusnya. Horey.

Dan ini, masih di CentrinOnline, daku langsung tak sabar membuka website Indosiar untuk melihat hasil lomba yang kudunya diumumkan tanggal 23 kemarin. Ini dia hasilnya:

http://ww1.indosiar.com/v7/lomba-cermin/

5 Besar Lomba CerMin
(Perempuan : Cerita, Cita dan Cinta)

Dari 10 besar naskah, terpilih 5 sebagai berikut:


Mama, Sekeping Inspirasi Tentang Kehidupan
Eldestian

Dua Srikandi Inspirator: Ibu Guru BP dan Moderator Dunia Maya
Fatimah Imazahra

Rumus Pintar Mbok Nah
Lingga Permesti

Cinta Perempuan Baja
Nunik Utami

Cinta Tak Butuh Kekerasan
Rosalia Raisita Rabu
***

ALHAMDULILLAH wal HAMDULILLAH, tulisanku masih masuk LIMA BESAR. ALHAMDULILLAH...

Hadyuuuuuh, berasa Idol-idol-an niy jadinya. Ini penyelenggara bisa aja. Padahal jujur aku lebih sreg kalau seandainya gak usah ada vote-vote-an kayak begini. Tulisan itu kan dinilai berdasarkan rasa di hati. Adakah sesuatu yang tertinggal setelah seseorang selesai membaca sebuah tulisan. Bukan pentas fisik yang juga dinilai secara fisik. Ah, entahlah. Hanya gumamku saja.

Atau sesungguhnya kategori 10 besar [8 hari lalu], 5 besar [hari ini] dan 3 pemenang [tanggal 28 besok] adalah hasil dari kerja keras dan penilaian yang dilakukan oleh dewan juri yang terhormat??? Sayangnya panitia tidak menjelaskan hal ini di blog mereka, belum kali ya???

Entahlah, tapi aku berharap seperti itu.

Eh, udah panjang lebar aja ya daku ngoceh, hihihi, dasar ember! Jujur, aku DEG-DEG-an boooooooo! Abisnya, pake sistem gugur gini sih, huhuhuhu :-(

Berhubung tetap akan dipilih pemenang juara favorit, boleh dong daku tetap mengiklankan karyaku dan meminta dukungan dari sahabat MP-ers semua, mohon VOTE aku lagi, lagi... dan lagi di SINI ya sahabat semua.

UPDATE:

Teman-teman, aku baru saja dapat personal message dari salah satu panitia, kata beliau vote-vote-an sudah tidak berlaku lagi. Lalu beliau menjawab pertanyaanku juga:

"Voting hanya ditujukan untuk menemukan Pemenang Favorit Pembaca, sedangkan 3 besar ditentukan oleh dewan juri."

Makasiy...

Love you all!

Aku Masuk 10 Besar Cermin INDOSIAR!!!

[Repost tulisan tanggal 22 Mei 2008, dari www.imazahra.multiply.com]

Teman-teman, dalam telikung hari dan minggu aku didera rasa malas, termasuk malessssss sekali buka internet. Apalagi dua hari terakhir rakyat jelata ini mendapat kunjungan kehormatan dari teh Ari [Ibu presiden MP]. Beliau mampir ke kosku lagi, senangnya ^__^

Kemarin hampir seharian kita muter-muter Pasar Beringharjo. Mendatangi dan makan bakso sedap jaman aku di pesantren dulu *ssst, kita sampai nambah! Hehehe...* plus photo-photo iseng dengan seorang bapak tua
pengayuh becak bercaping yang kami tumpangi dan memeluk haru atas kisah hidupnya. Khas kisah kehidupan rakyat kecil yang tak 'terbaca' nasibnya oleh pemimpin negeri ini.

Tapi..., mood menulisku masih belum membaik juga, hiks hiks... sampai kemudian, baruuu saja tadi aku tergerak untuk membuka MP, daaaaaannnnnn...! Aku terkaget-kaget membaca jurnal Mba Sya tentang hasil lomba CerMin Indosiar!

Ternyata...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Subhanallah! Naskahku terpilih sebagai 10 besar dari total 132 naskah yang masuk.

Sungguh tak pernah kubayangkan tulisanku itu akan masuk 10 besar finalis lomba Cermin yang diselenggarakan Indosiar. Terlebih, naskah yang kukirimkan kubuat saat detik-detik akhir jelang penutupan penerimaan naskah. Aku tak berharap banyak... Sekali lagi, nothing to loose!

Ini penjelasan resmi dari website penyelenggara lomba:

10 Besar Lomba CerMin
(Perempuan : Cerita, Cita dan Cinta)

Dari 132 naskah yang masuk, hanya 18 naskah yang memenuhi kriteria yang ditentukan.

Berdasarkan penilaian yang meliputi:

1. Orisinalitas
2. Cara pemaparan
3. Kelancaran menuangkan ide
4. Logika cerita

Dari 18 naskah tersebut, terpilihlah 10 besar sebagai berikut:

Cinta Tak Butuh Kekerasan

Rosalia Raisita Rabu

Rumus Pintar Mbok Nah
Lingga Permesti

Fatimah, alias IMAZAHRA tuh maksudnya :-D

Nunik Utami

Sutrisnowati

Eldestian

Muhamad Mas'ud

Fien Prasetyo

Syafaatus Syarifah

Aloysius Yuwono Suprapta

***

Jangan lupa ya teman-teman MP-ers, please klik CerMin Favoritmu, dan mohon berikan bintang setinggi-tingginya untuk mengapresiasi tulisanku yang ini,

Berhubung ini masih tahapan lomba, yah..., daku memohon kerelaan teman-teman membaca tulisan sederhanaku dan bila menyukainya, mohon diberi 5 stars, hihihi..., maunya :-)

Sedikit bocoran behind the scene naskah ini:

Aku agak kebingungan di awal-awal menulis naskah ini. Makanya sampai detik-detik akhir deadline pengiriman naskah, aku belum berhasil juga membayangkan mau menulis apa? Karena dari tema, kubayangkan aku harus menulis kisah sosok seorang ibu dan kehebatannya, sementara boleh dibilang aku tidak menyimpan kenangan tentang 'kehebatan' itu. Tema ini juga sempat membuatku menangis sampai di situ.

Sungguh, aku tak pernah kuasa menceritakan keindahan akhlak dan cinta seorang ibu, karena mamaku sudah meninggal saat aku berumur 5 tahun dan kebetulan Allah mentakdirkanku beribu tiri yang dalam perjalanan hidupku belum begitu banyak meninggalkan kesan di hatiku. Hanya persoalan peruntungan nasib sepertinya, and sorry to say, hubungan kami kurang baik, itu saja.

Tiba-tiba aku teringat akan perjalanan turun naik hidupku jelang kepala 3 usiaku. Ada orang-orang yang kuanggap keterlibatannya dalam hidupku sama powerfulnya dengan keterlibatan seorang ibu kandung.

Ah..., kufikir tak ada salahnya kukisahkan sosok-sosok yang bukan ibuku, juga bukan keluarga kandungku, tapi sumbangsih mereka padaku sungguh seperti cinta dan kasih seorang IBU. Kufikir, walau agak-agak 'berbeda' dibanding naskah-naskah lain yang kemungkinan akan dikirimkan, rasanya tak ada salahnya memberanikan diri mengirimkan naskah ini :-) Dan ternyata membuahkan hasil cukup manis saat ini :-)

So..., again..., please vote for me yaaa ^_^

Oh iya, berhubung ada yang menanyakan cara vote-nya gimana, silahkan klik link yang saya berikan di atas, itu akan menuju ke tulisan saya. Setelah selesai membaca, arahkan matamu pada bagian paling bawah, ada lambang bintang tuh! Sila klik bintang paling ujung kanan sendiri kalau mau memberikan 5 bintang. Mudah kan :-)

Sekedar info, tulisan ini juga kudedikasikan untuk salah satu MP-er yang sedang beristirahat panjang setelah menjalani operasinya di Tempe, USA, sana :-) Mudahan beliau segera disembuhkanNya, amiin...

Happy birthday day too, Teteh sayang :-) Mudahan yang terbaik selalu dariNya untuk teteh, karena teteh sudah berderma begitu banyak dan indah pada semesta :-)

PS.

Saya akan lebih berterimakasih kalau teman-teman berkenan me-link, biar semakin banyak yang vote, hihihi :-D

Tuesday, May 27, 2008

Sepotong Kisah Bapak Tua Bercaping dan BBM

Siang itu aku duduk terpekur menatap langit Jogja yang garang. Gerah bukan main! Untungnya aku duduk di alam terbuka. Saat itu aku duduk di atas sebuah becak yang sedang menunggu sahabatku, teh Ari yang sedang sibuk memesan tiket travel di sebuah sudut jalan Malioboro, dipojok depan RM Cirebon disamping Mirota Batik. Cukup lama aku menunggu, si ibu kemungkinan besar kelayapan juga mencari-cari souvenirs sebagai tanda mata pemahat kenangan jiwa.

Awalnya aku hanya berdiam diri, tapi lama-lama bosan juga. Entah mengapa, aku selalu suka mengajak bicara supir taxi, mas ojek, supir bus, bapak tukang becak. Bahkan kebiasaan ini terbawa-bawa sewaktu di UK dulu.

Siang itu kubuka dialog,

"Bapak, sekarang mbecak di Malioboro persaingannya ketat enggak?" sembari mataku melayangkan pandang ke banyak becak yang berjejer rapi di sepanjang jalan Malioboro dan bisa menduga jawaban apa yang akan diberikan si Bapak tua.

"Duh Nak, bukan ketat lagi, berebut malah! Lha tadi kan saya menjemputmu di depan Beringharjo, bahkan rela hanya 5000 rupiah saja sampai Gerjen"

Tadi saat kami baru saja keluar dari pintu pasar Beringharjo, Bapak tua ini langsung memepet dan menjejeri langkah kami. Sibuk bertanya kemana lagi tujuan kami selanjutnya. Aku sempat panik dan bingung mau mengingat tujuan selanjutnya, seolah-olah hilang orientasi karena saat itu manusia penuh sesak. Teh Ari sampai menatapku tajam, "Ima, kita mau kemana nih???" Sesaat kupilih diam menenangkan diri, dan... aha!

"Kami mau ke Gerjen Pak! Pinten nggih?"

"5000 mawon..."

Jujur aku kaget. Dugaanku si Bapak bakal minta sepuluh ribu minimal. Langsung saja hatiku dan hati teh Ari luluh. Duh, 5000! Gerjen itu kan jaraknya sekitar lima tujuh kilometer-an dari Malioboro. Jalannya juga agak berliku dan ramai sekali. Aku langsung menduga, pasti si Bapak masih sedikit sekali nariknya hari ini. Beliau terpaksa pasti...

Aku tersadar dari lamunanku. Si Bapak ternyata sudah tidak di atas sadel, tapi sudah berpindah disampingku, sembari tangannya memegang umbul-umbul hiasan becak di sisi kiriku. Wajahnya adalah nestapa. Kutatap dalam-dalam. Kutaksir umur beliau kisaran 55-60 an. Otot-ototnya bertonjolan membuktikan bahwa hidupnya tidaklah mudah dan bersantai-santai. Kulitnya legam dan kasar memperlihatkan bahwa ia pekerja keras menantang kejamnya kehidupan. Tapi dari situ juga terlihat, si Bapak tidak mau menyerah pada gurat nasib yang sepertinya tak adil untuknya.

"Bapak, maaf, umurnya kalau boleh saya tebak, sudah 55-60-an ya?"

Sang Bapak tersenyum dan menyahut, "Benar Nak, umurku 60."

Duh, saat itu aku mau menangis. Setua ini, masih membanting tulang menjajakan tumpangan becaknya?

"Bapak punya anak? Kenapa masih kerja Pak?"

Aku sadar, aku sudah terlalu jauh bertanya, tapi aku tidak bisa menahan mulutku!

"Ada satu, tapi dia juga penghasilannya pas-pasan, wong cuma lulusan SMA mau kerja apa? Saya juga gak papa kok Nak, sudah biasa bekerja, asal tidak mengemis"

Saat itu kutatap lagi matanya. Mata tua yang melamur dimakan usia. Selaput keabu-abuan terlihat mulai menutupi lingkaran mata hitamnya. Apakah itu gejala katarak? Entahlah... yang pasti kurasakan gerimis membasahi hati. Kemanakah pemerintahan yang mengayomi rakyatnya yang jelata? Rakyat yang renta, dibawah garis kemiskinan, anak-anak yang terlahir menjadi anak jalanan, yang sepertinya bekerja sekeras apapun sulit lepas dari belitan kemiskinan karena kepapaan pendidikan.

"Bapak, kalau pas ramai sehari bisa dapat berapa?"

"Wah, gak pasti ya Nak. Seperti hari ini, saya belum narik sama sekali. Makanya tadi pas kamu bilang mau ke Gerjen, saya tawarkan saja 5000, saya sudah tidak peduli. Saya cuma berharap, kamu minta diantar ke Bakpia Pathok atau ke Dagadu, biar saya dapat tambahan dari toko-toko itu."

"Enggak Pak, kami tidak kesitu. Cuma mau makan bakso saja, langganan saya jaman saya di pesantren dulu. InsyaAllah nanti Bapak kami ajak makan bersama dan bayaran Bapak juga kami tambahkan."

"Wah Nak, saya gak mau ah makan sama-sama. Saya malu. Saya mau antar dan nunggu. Uang makan saya buat tambah-tambah saya saja. Terima kasih ya."

"Ah enggak, Bapak pokoknya harus ikut makan dengan kami, kan Bapak bilang tadi, Bapak belum makan sejak pagi, nanti jatuh lagi pas bawa becaknya karena kelaparan," aku ingat, saat itu senyumku melebar seusai menyampaikan candaan itu.

"Ah Nak, saya pokoknya gak mau ikut makan. Saya malu. Saya gak mau."

Dalam hatiku aku menyusun rencana supaya si Bapak mau masuk warung Bakso yang kami tuju, hihihi...

"Oh iya Pak, Bapak aslinya darimana???"

"Saya dari Kretek. Berpuluh kilometer dari sini. Jadi, setiap pagi, saya naik angkot dari Kretek sampai Parangtritis. Biayanya 2500. Dari Parangtritis saya naik bus sampai sini. Biayanya 4000. Jadi pulang pergi saya menghabiskan 13000."

Wow, modal yang tidak sedikit dan harus dikeluarkan setiap hari. Berarti untuk balik modal dan bisa membawa uang pulang ke rumah, minimal si Bapak harus memperoleh 30 ribuan sehari!

"Kalau pas ramai turis, sehari bapak bisa dapat berapa?" selidikku lebih jauh.

"Wah, gak tentu ya Nak. Kalau pas beruntung, saya bisa dapat sampai 50 ribu sehari. Tapi ya itu, tak menentu. Kadang-kadang saya cuma narik satu dua kali sehari, seperti hari ini, saya baru bawa Mba, kemarin apalagi, seharian saya gak narik, soalnya ada demo sepanjang hari di jalan Malioboro."

Tak terasa, kepalaku mengangguk-angguk pelan seperti boneka yang bergoyang di sebuah dashboard mobil.

"Ditambah Nak, sekarang mobil di Jogja semakin banyak saja, sepeda motor apalagi. Kami-kami ini benar-benar tersingkir, tidak seperti dulu..."

Mata lamurnya menerawang sampai jauh. Andai ia ayahku, pasti sudah kupeluk tubuh tuanya itu. Aku benar-benar merasa ikut sakit hati. Aku teringat isu BBM yang mau naik.

Entah mengapa, aku berdoa, mudahan orang-orang mengurangi pemakaian mobil dan motornya dan beralih menggunakan becak saja. Tapi waktu sepertinya amat tak bersahabat dengan becak, karena becak itu lambat, tidak seperti motor dan mobil yang sanggup menerabas seluruh hukum rimba jalan raya.

Apalagi, becak ramah lingkungan karena gak pakai bensin! Sayangnya semakin tersingkir oleh gaya hidup modern.

Aku juga tak bisa membayangkan dampak kenaikan BBM bagi Bapak ini dan orang-orang miskin lainnya. Apakah mereka sanggup membeli minyak tanah, apalagi minyak gas yang harganya meroket ini???

Dari koran yang kubaca [kalau aku gak salah ingat koran Jogja] jumlah penerima Bantuan Langsung Tunai [BLT] justru malah berkurang. Apakah ini indikator angka kemiskinan di kota Jogja telah menurun? Aku curiga tidak! Karena data yang dipakai adalah data BPS tahun 2006.

Walaupun ada BLT, itu kan sifatnya sangat temporer! Lalu selanjutnya seperti apa??? Apakah pemerintah pusat kemudian akan dengan suka rela mengalihkan dana subsidi BBM untuk menggratiskan sekolah-sekolah dan Rumah Sakit? Dua hal yang paling asasi dan mendesak karena itu kebutuhan rakyat yang paling primer. Aku kok tidak yakin ya ada iktikad baik ke arah sana.

Aku marah pada pemerintah negeri ini tapi sekaligus merasa tak berdaya. Aku hanya bisa membantu yang perlu kubantu sebisaku. Itu saja. Tapi pada tingkat kebijakan, aku bukan siapa-siapa...

Kurang lebih setengah jam kami mengobrol. Tak lama berselang Teh Ari muncul. Tiket sudah beres dipesan dan souvenirs sudah didapatkan. Sang Bapak membawa kami menelusuri Jogja yang sepertinya juga mulai kejam pada rakyatnya yang kurang berpendidikan dan kurang beruntung hidupnya.

Monday, May 26, 2008

Aku tergelitik ingin menanggapi dan 'membaca kembali' dari perspektifku sendiri tulisan Mohammad Sobari baru-baru ini yang dimuat di Kompas edisi Minggu 12 Juni di sini: His Highness . Jika Sobary bertutur banyak tentang kemuliaan sifat Syeikh Nahayan, maka saya ingin mengisahkan sisi lain Dubai yang mewakili Uni Emirat Arab dari kacamata rakyat biasa.

Untuk lebih mampu menangkap benang merah journalku ini dengan Mohammad Sobary, please look at his writing!

***

Aku juga sudah bertemu muka langsung dengan beliau ini, His Highness (Paduka Yang Mulia, PYM) Syeikh Nahayan bin Mubarak Al-Nahayan. Beliau memang sangat berwibawa dan ramah pada siapapun, bahkan kami-kami peserta conference yang hanya student biasa ini. Yang saya herankan, kemanapun beliau berjalan, selalu dikelilingi oleh banyak sekali orang-orang America. Ini membuat saya bertanya-tanya...

Izinkan saya menuturkan lebih jauh secuil pengalaman saya selama disana sekitar February 2005 lampau.

Buat saya, dibalik kemegahan Dubai (yang saya pun sempat mengalami keterpesonaan yang sama seperti yang dirasakan Mohammad Sobary), ia menyimpan rahasia konspirasi maha ajaib antara negara adikuasa di dunia ini dengan mereka, para Emirati. Bahkan ketika disana saya sempat mengamini pendapat Mohammad Sobary: bahwa di Uni Emirat Arab, kita bagai melihat surga dunia, atau Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur dalam bahasa al-Qur'an. Lantas Sobary menulis,

"Mengapa para pimpinan negeri itu mampu menyulap padang pasir menjadi "taman firdaus"? Dan mengapa masyarakatnya yang "ayem" dan nyaman itu mengingatkan kita pada baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sedang negeri kita menjadi seperti seonggok mobil tua di tangan montir picisan yang ahli membongkar tetapi tak becus menyusunnya kembali?

Benarkah masyarakatnya merasa 'ayem' dan nyaman?Masyarakat manakah yang dimaksud?

Nyatanya Dubai menyimpan ribuan kisah duka dibalik layar tentang derita para TKI kita yang tak punya daya tawar. Asal teman-teman tahu saja, pekerja di Indonesia kurang lebih tiga ribuan jumlahnya, dan gaji mereka ternyata dibawah standar gaji orang-orang dari negara lain, hanya karena alasan mereka adalah orang yang terlahir sebagai Asian people.

Darimana saya mengetahui itu semua?Saya sempat bersama mereka dua hari, bahkan ikut menumpang di salah satu dari mereka (karena saya tidak mendapat hotel untuk berteduh setelah selesai conference, semua fully booked!). Dari merekalah mengalir kisah-kisah sedih menyesakkan hati saya tentang beratnya perjuangan mencari sesuap nasi di negeri kaya yang ternyata masih dibalut rasisme.

Semula saya belum faham kenapa itu semua terjadi? Apakah daya tawar dan perlindungan hukum pemerintah kita yang tak pernah serius membela mereka, membuat TKI (sang pahlawan devisa) kita itu selalu dipandang rendah dan sebelah mata dibelahan dunia Timur Tengah manapun??? atau hal lain juga menjadi penyebabnya? Ternyata jawabnya adalah terkagum-kagumnya mereka terhadap orang America dan memandang sangat rendah terhadap Asia.

Selama 8 hari disana, saya melihat fakta yang sungguh-sungguh nyata bagaimana memujanya mereka terhadap American people! Saya sempat iseng melakuan penelitian kecil dan mengambil sampel secara acak, dengan mengajak ngobrol Zayed University students sekitar 8 orang. Kesimpulan penelitian sederhana dari interview acak saya tersebut, Emirati students menganggap America adalah penguasa dunia dan kepada mereka lah mereka harus berkiblat, utamanya teknologi. They even said to me, "American people are the best people in the world!" Could you imagine that? Bagaimana hebatnya pesona America buat mereka, bahkan bagi generasi muda mereka.

Lebih jauh saya amati, ternyata seluruh proyek pembangunan megah disana (termasuk al Burj al-'Arab) diarsitekturi dan digarap oleh orang-orang America. Bahkan orang-orang dibalik layar His Highness adalah orang-orang America.

Zayed University sendiri, yang didirikan olehnya ternyata menjadi persemaian benih-benih ghazwul fikri untuk mencintai America. Sejak Rektor hingga dosen paling biasa sekalipun dijabat oleh orang America. Belum cerita dibalik layar tentang hal-hal lain, miris hati saya, menangis saya disana... America sungguh pandai merangkul sang raja dan menjajah tanpa mereka sadari sekalipun! Ini adalah isu duit, duitlah sang raja!

Ketika saya hadir dan mengikuti conference, senyatanya saya gumun dan sedih. Diawal saya berharap akan berjumpa dengan keynote speakers tangguh dari padang pasir selain perempuan-perempuan Barat. Ternyata keynote speakers hanyalah parade pembicara yang diangkut dari America semua (termasuk istri Al Gore).

Duh duh...., dimanakah Nawal el Sa'dawi, Fatimah Mernissi, Riffat Hassan dan lain-lain, yang menggali isu dari sumber asli, Al-Qur'an??? Biarpun mereka dianggap melakukan pendobrakan-pendobrakan nilai yang luar biasa berani (dan dianggap sesat oleh sekelompok orang), mereka tetaplah representasi perempuan-perempuan gurun pasir terkini, yang juga harus dihargai dan duduk sejajar bersama keynote speakers lainnya.

Bahkan, teman-teman peserta conference lainnya (yang entah mengapa 3/4 nya ndilalah juga berasal dari America) mengaku agak kecewa dengan International conference tersebut. Semula mereka berharap akan mendengar suara-suara perempuan lantang dari gurun pasir tersebut, tapi ternyata sesampai Dubai hanyalah mendapati narasumber dari negara asal mereka pula. Mereka bilang, Dubai dalam sisi-sisi wajahnya hanyalah seperti New York dan kota-kota besar lainnya di America tanpa menawarkan keunikan lainnya.

Berkali-kali saya naik taksi sendiri (karena saya tidak mau ikut mobil mewah yang disediakan panitia dan terikat jadwal mereka) sekaligus ingin mengetahui kisah nyata tentang Dubai dari masyarakatnya sendiri. Ternyata..., mereka sangat diskriminatif terhadap immigrant, termasuk pendatang Asia.

Si pak sopir sendiri berasal dari Pakistan, dia mengisahkan tentang sangat syu'ubiyyah (rasa kesukuan)nya orang-orang local (alias Emiratis), termasuk kisah sedih yang menimpa dirinya. Mereka memandang rendah pekerja-pekerja dari negara Asia, terutama Pakistan, India dan Indonesia. Padahal pekerja Indonesia kebanyakan muslim, namun tetap saja baju syu'ubiyyah mereka tak pernah bisa mereka lepaskan!
Si pak sopir juga bercerita, bagaimana standar gaji yang dibeda-bedakan antara pendatang dari Asia dan pendatang dari Eropa atau benua America! Dia bercerita,

"Banyak sekali professor-professor (yang berasal dari India) datang dan mengajar dari Zayed University tak tahan berlama-lama di universitas milik keluarga raja itu, karena ternyata gaji mereka dibedakan dengan dosen-dosen yang berasal dari America dan Eropa, terlebih sikap diskriminatif mereka pun mengemuka dalam berbagai kesempatan...".

Si bapak terus saja bercerita dan saya simak dengan bertanya-tanya, apakah kisah beliau itu benar adanya atau tidak?

Malam setiba di studioku di salah satu five stars hotel yang disediakan gratis untuk kami para presenter, aku dan seorang ibu cerdas kawan sekamarku dari Pakistan berbincang-bincang mengenai fenomena Dubai yang membuat kami takjub!
Obrolan berlanjut hingga kisahku tentang pak supir dan cerita diskriminasinya. Ternyata, teman saya yang hampir selesai PHD-nya di Harvard University itu, mengamini kisah si pak supir.

"Perlu kamu ketahui Ima, aku kesini tidak sekedar mempresentasikan paperku saja, aku diundang oleh Zayed University dan ditawari untuk menempati jabatan di lembaga itu setelah gelar Doctor kudapat dari Harvard. Mereka selama ini telah berkali-kali berusaha menggaet doctor lulusan Harvard untuk meningkatkan nilai jual universitas mereka, namun berkali-kali pula gagal. Maka misiku kesini sekaligus ingin mengetahui langsung seperti apa Zayed University itu, sistem pendidikan mereka dan seterusnya..."

Bergulirlah kisah dari mulut Ibu itu, bahwa setelah dia bertanya kesana kemari, termasuk ke dosen-dosen Zayed University (yang memang menjadi LO kami-kami para peserta), dia menemukan fakta tidak jelasnya latar belakang akademis dosen-dosen America yang mengajar disana. Entah berasal dari lulusan university manakah di America sana. Telah kita mafhumi bersama kan bagaimana tingkat kualitas pendidikan di America yang sangat beragam dari yang terbagus hingga yang paling tidak jelas sekalipun, karena banyaknya public universities. Mrs. Shabna juga menanyakan soal salary, ternyata memang benar, untuk orang Asia, gaji mereka akan dihargai separuh orang America. Gila! Diskriminasi yang luar biasa kan! Ini baru kisah di sektor bisnis pendidikan, belum kisah-kisah miris lainnya. Mungkin akan saya kisahkan terpisah jika teman-teman ingin mengetahuinya.

Hari-hari saya lalui disana, sampailah saya pada kesimpulan terkini; Dubai megah dan mempersona dari luar, namun mentally mereka sangat tergantung dengan America. Duit adalah duit yang mereka hasilkan dari minyak-minyak berlimpah yang dikandung bumi pertiwi mereka, tapi otak dibalik layar adalah America. Sampailah saya pada kesimpulan yang dahulu hanya saya raba-raba, bahwa sungguh sebagian Middle Eastern Countries (including Saudi Arabia) adalah sekutu sejati America.

Jadi, jika Mohammad Sobary menyatakan bahwa:

"Inilah daya dobrak ajaran: lewat ibadah kita mengubah dunia. Dan agama, dengan begini bukan candu masyarakat. Gerak napas agama tak kalah progresif dibanding "praksis revolusioner" yang digrandrungi Marx"

Benarkah begitu adanya? Senyampang seminggu pengamatan saya, yang saya lihat adalah politisasi agamalah yang terjadi dan kita tidak akan menyadarinya tanpa sebelumnya kita terlebih dahulu mengupas kulit-kulit ari terluarnya sebelum nampak kebenaran yang sesungguhnya!

Dalam hal ini kajian ilmu-ilmu politik berkaitan dengan hubungan international antar negara menjadi menarik adanya :-) Barangkali teman-teman lain bisa turut memberi komentar???

*Oleh-oleh berupa pengamatan orang awam seperti saya yang barangkali juga bisa salah!