Siang itu aku duduk terpekur menatap langit Jogja yang garang. Gerah bukan main! Untungnya aku duduk di alam terbuka. Saat itu aku duduk di atas sebuah becak yang sedang menunggu sahabatku, teh Ari yang sedang sibuk memesan tiket travel di sebuah sudut jalan Malioboro, dipojok depan RM Cirebon disamping Mirota Batik. Cukup lama aku menunggu, si ibu kemungkinan besar kelayapan juga mencari-cari souvenirs sebagai tanda mata pemahat kenangan jiwa.
Awalnya aku hanya berdiam diri, tapi lama-lama bosan juga. Entah mengapa, aku selalu suka mengajak bicara supir taxi, mas ojek, supir bus, bapak tukang becak. Bahkan kebiasaan ini terbawa-bawa sewaktu di UK dulu.
Siang itu kubuka dialog,
"Bapak, sekarang mbecak di Malioboro persaingannya ketat enggak?" sembari mataku melayangkan pandang ke banyak becak yang berjejer rapi di sepanjang jalan Malioboro dan bisa menduga jawaban apa yang akan diberikan si Bapak tua.
"Duh Nak, bukan ketat lagi, berebut malah! Lha tadi kan saya menjemputmu di depan Beringharjo, bahkan rela hanya 5000 rupiah saja sampai Gerjen"
Tadi saat kami baru saja keluar dari pintu pasar Beringharjo, Bapak tua ini langsung memepet dan menjejeri langkah kami. Sibuk bertanya kemana lagi tujuan kami selanjutnya. Aku sempat panik dan bingung mau mengingat tujuan selanjutnya, seolah-olah hilang orientasi karena saat itu manusia penuh sesak. Teh Ari sampai menatapku tajam, "Ima, kita mau kemana nih???" Sesaat kupilih diam menenangkan diri, dan... aha!
"Kami mau ke Gerjen Pak! Pinten nggih?"
"5000 mawon..."
Jujur aku kaget. Dugaanku si Bapak bakal minta sepuluh ribu minimal. Langsung saja hatiku dan hati teh Ari luluh. Duh, 5000! Gerjen itu kan jaraknya sekitar lima tujuh kilometer-an dari Malioboro. Jalannya juga agak berliku dan ramai sekali. Aku langsung menduga, pasti si Bapak masih sedikit sekali nariknya hari ini. Beliau terpaksa pasti...
Aku tersadar dari lamunanku. Si Bapak ternyata sudah tidak di atas sadel, tapi sudah berpindah disampingku, sembari tangannya memegang umbul-umbul hiasan becak di sisi kiriku. Wajahnya adalah nestapa. Kutatap dalam-dalam. Kutaksir umur beliau kisaran 55-60 an. Otot-ototnya bertonjolan membuktikan bahwa hidupnya tidaklah mudah dan bersantai-santai. Kulitnya legam dan kasar memperlihatkan bahwa ia pekerja keras menantang kejamnya kehidupan. Tapi dari situ juga terlihat, si Bapak tidak mau menyerah pada gurat nasib yang sepertinya tak adil untuknya.
"Bapak, maaf, umurnya kalau boleh saya tebak, sudah 55-60-an ya?"
Sang Bapak tersenyum dan menyahut, "Benar Nak, umurku 60."
Duh, saat itu aku mau menangis. Setua ini, masih membanting tulang menjajakan tumpangan becaknya?
"Bapak punya anak? Kenapa masih kerja Pak?"
Aku sadar, aku sudah terlalu jauh bertanya, tapi aku tidak bisa menahan mulutku!
"Ada satu, tapi dia juga penghasilannya pas-pasan, wong cuma lulusan SMA mau kerja apa? Saya juga gak papa kok Nak, sudah biasa bekerja, asal tidak mengemis"
Saat itu kutatap lagi matanya. Mata tua yang melamur dimakan usia. Selaput keabu-abuan terlihat mulai menutupi lingkaran mata hitamnya. Apakah itu gejala katarak? Entahlah... yang pasti kurasakan gerimis membasahi hati. Kemanakah pemerintahan yang mengayomi rakyatnya yang jelata? Rakyat yang renta, dibawah garis kemiskinan, anak-anak yang terlahir menjadi anak jalanan, yang sepertinya bekerja sekeras apapun sulit lepas dari belitan kemiskinan karena kepapaan pendidikan.
"Bapak, kalau pas ramai sehari bisa dapat berapa?"
"Wah, gak pasti ya Nak. Seperti hari ini, saya belum narik sama sekali. Makanya tadi pas kamu bilang mau ke Gerjen, saya tawarkan saja 5000, saya sudah tidak peduli. Saya cuma berharap, kamu minta diantar ke Bakpia Pathok atau ke Dagadu, biar saya dapat tambahan dari toko-toko itu."
"Enggak Pak, kami tidak kesitu. Cuma mau makan bakso saja, langganan saya jaman saya di pesantren dulu. InsyaAllah nanti Bapak kami ajak makan bersama dan bayaran Bapak juga kami tambahkan."
"Wah Nak, saya gak mau ah makan sama-sama. Saya malu. Saya mau antar dan nunggu. Uang makan saya buat tambah-tambah saya saja. Terima kasih ya."
"Ah enggak, Bapak pokoknya harus ikut makan dengan kami, kan Bapak bilang tadi, Bapak belum makan sejak pagi, nanti jatuh lagi pas bawa becaknya karena kelaparan," aku ingat, saat itu senyumku melebar seusai menyampaikan candaan itu.
"Ah Nak, saya pokoknya gak mau ikut makan. Saya malu. Saya gak mau."
Dalam hatiku aku menyusun rencana supaya si Bapak mau masuk warung Bakso yang kami tuju, hihihi...
"Oh iya Pak, Bapak aslinya darimana???"
"Saya dari Kretek. Berpuluh kilometer dari sini. Jadi, setiap pagi, saya naik angkot dari Kretek sampai Parangtritis. Biayanya 2500. Dari Parangtritis saya naik bus sampai sini. Biayanya 4000. Jadi pulang pergi saya menghabiskan 13000."
Wow, modal yang tidak sedikit dan harus dikeluarkan setiap hari. Berarti untuk balik modal dan bisa membawa uang pulang ke rumah, minimal si Bapak harus memperoleh 30 ribuan sehari!
"Kalau pas ramai turis, sehari bapak bisa dapat berapa?" selidikku lebih jauh.
"Wah, gak tentu ya Nak. Kalau pas beruntung, saya bisa dapat sampai 50 ribu sehari. Tapi ya itu, tak menentu. Kadang-kadang saya cuma narik satu dua kali sehari, seperti hari ini, saya baru bawa Mba, kemarin apalagi, seharian saya gak narik, soalnya ada demo sepanjang hari di jalan Malioboro."
Tak terasa, kepalaku mengangguk-angguk pelan seperti boneka yang bergoyang di sebuah dashboard mobil.
"Ditambah Nak, sekarang mobil di Jogja semakin banyak saja, sepeda motor apalagi. Kami-kami ini benar-benar tersingkir, tidak seperti dulu..."
Mata lamurnya menerawang sampai jauh. Andai ia ayahku, pasti sudah kupeluk tubuh tuanya itu. Aku benar-benar merasa ikut sakit hati. Aku teringat isu BBM yang mau naik.
Entah mengapa, aku berdoa, mudahan orang-orang mengurangi pemakaian mobil dan motornya dan beralih menggunakan becak saja. Tapi waktu sepertinya amat tak bersahabat dengan becak, karena becak itu lambat, tidak seperti motor dan mobil yang sanggup menerabas seluruh hukum rimba jalan raya.
Apalagi, becak ramah lingkungan karena gak pakai bensin! Sayangnya semakin tersingkir oleh gaya hidup modern.
Aku juga tak bisa membayangkan dampak kenaikan BBM bagi Bapak ini dan orang-orang miskin lainnya. Apakah mereka sanggup membeli minyak tanah, apalagi minyak gas yang harganya meroket ini???
Dari koran yang kubaca [kalau aku gak salah ingat koran Jogja] jumlah penerima Bantuan Langsung Tunai [BLT] justru malah berkurang. Apakah ini indikator angka kemiskinan di kota Jogja telah menurun? Aku curiga tidak! Karena data yang dipakai adalah data BPS tahun 2006.
Walaupun ada BLT, itu kan sifatnya sangat temporer! Lalu selanjutnya seperti apa??? Apakah pemerintah pusat kemudian akan dengan suka rela mengalihkan dana subsidi BBM untuk menggratiskan sekolah-sekolah dan Rumah Sakit? Dua hal yang paling asasi dan mendesak karena itu kebutuhan rakyat yang paling primer. Aku kok tidak yakin ya ada iktikad baik ke arah sana.
Aku marah pada pemerintah negeri ini tapi sekaligus merasa tak berdaya. Aku hanya bisa membantu yang perlu kubantu sebisaku. Itu saja. Tapi pada tingkat kebijakan, aku bukan siapa-siapa...
Kurang lebih setengah jam kami mengobrol. Tak lama berselang Teh Ari muncul. Tiket sudah beres dipesan dan souvenirs sudah didapatkan. Sang Bapak membawa kami menelusuri Jogja yang sepertinya juga mulai kejam pada rakyatnya yang kurang berpendidikan dan kurang beruntung hidupnya.