Thursday, May 31, 2007

Kasih Ibu Bak Sang Surya???


Malam ini aku jadi tertarik mengomentari quotation tetangga sebelah mba Setia yang obrolan journalnya sedikit menyentil soal Kartini.

Yang menarik untuk dicermati adalah komentarnya mas Mbonk,

"...karena presiden pertama orang Jawa makanya jadi hari Kartini, seandainya dulu presidennya dari Aceh..., pasti hari Cut Nyak Dien ..."



Barangkali memang benar, budaya kita masih sangat kuat feodalisme nya, sehingga darimana asal presidennya, maka akan menentukan corak kebijakan, termasuk dalam menentukan siapa yang berhak menyandang gelar sebagai pahlawan emansipasi perempuan.

Kalau mau dibahas lebih serius, ini adalah kerja ilmuwan sejarah (dan tentu saja saya sangat tidak berkompeten didalamnya) untuk meneliti lebih awal Cut Nyak Dien atau Kartini kah dalam memulai gerakan women empowerment di Indonesia. Soal heroiknya sih barangkali Kartini masih kalah dengan Cut Nyak Dien jika diukur secara fisik! Namun mereka berdua adalah perempuan-perempuan terbaik pada zamannya yang berani mendobrak keadaan 'bathil' menjadi lebih tercerahkan dengan cara mereka masing-masing.

Anyway, yang mengganjal buat saya tentang Kartini-kartinian ini adalah soal penilaian masyarakat terhadap sosok perempuan atau ibu atau istri dalam bentuk real. Menurut saya, masyarakat Indonesia menggunakan standar ganda dalam isu ini. Orang-orang sudah terlalu lama dinina bobokan dengan rekonstruksi 'perempuan perkasa' yg bisa segala-galanya, yang dampaknya padahal malah meletakkan perempuan ditubir double burden! Contoh sederhana adalah lagu jaman kita TK dulu:

"Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia".

Secara makna sih bagus, lagu ini menggambarkan bahwa ibu adalah sosok perempuan tangguh yang mengabdikan dirinya untuk anak-anaknya atas nama cinta!

Yang menjadi masalah kemudian adalah perlambang ibu yg bagai benda alam (dalam hal ini matahari) itu yang menurut saya tidak pas --bahwa ibu hanya memberi dan tidak butuh menerima!

Matahari sebagai makhluk tak bernyawa wajar tidak (mengharap) menerima sesuatu, karena dia tunduk pada hukum alam dan tidak memiliki hati. Sementara ibu, istri atau perempuan adalah makhluk (yang memiliki perasaan) dan tentu saja butuh 'menerima' balasan berupa kasih sayang dan penghargaan dari orang yang dikasihinya. Disinilah paradoks-nya ibu, dipuja tapi sekaligus di'intimidasi' bahkan dalam bahasa kanak-kanak.

Ahli filsafat bahasa (kasus ini meminjam konsepnya Jacques Derrida) berujar, bahwa bahasa atau teks adalah representasi dari kebudayaan, nilai-nilai dan nalar masyarakat yang berlangsung atau dianut kebenarannya. Untuk empowerment masyarakat, maka teks-teks ini perlu dibongkar dan direkonstruksi ulang.

Kesulitannya untuk konteks diatas adalah, begitu banyaknya ungkapan bahasa dan nalar tentang sosok ibu ini yang ambigu dan bermata dua ini, termasuk dalam lagu sederhana yang selalu didendangkan sejak masa kanak kita itu.

Maka, jelang hari Kartini besok, yang perlu kita lakukan adalah membangun kesadaran baru tentang nilai perempuan sebagai manusia, bahwa ia membutuhkan kesempatan dan ruang untuk aktualisasi diri, penghargaan dan cinta sebagaimana makhluk yang bernama laki-laki. Tak hanya sekedar merayakan ritual tahunan lomba masak, bersanggul dan kebaya ala Kartini dan tetek bengek artifisial lainnya. Jika tidak, dalam kuburnya Kartini barangkali akan bersedih karena perjuangannya hanya dimaknai seartifisial itu.

Catatan menjelang shubuh, 20 April 2005

No comments :