Monday, May 26, 2008

Aku tergelitik ingin menanggapi dan 'membaca kembali' dari perspektifku sendiri tulisan Mohammad Sobari baru-baru ini yang dimuat di Kompas edisi Minggu 12 Juni di sini: His Highness . Jika Sobary bertutur banyak tentang kemuliaan sifat Syeikh Nahayan, maka saya ingin mengisahkan sisi lain Dubai yang mewakili Uni Emirat Arab dari kacamata rakyat biasa.

Untuk lebih mampu menangkap benang merah journalku ini dengan Mohammad Sobary, please look at his writing!

***

Aku juga sudah bertemu muka langsung dengan beliau ini, His Highness (Paduka Yang Mulia, PYM) Syeikh Nahayan bin Mubarak Al-Nahayan. Beliau memang sangat berwibawa dan ramah pada siapapun, bahkan kami-kami peserta conference yang hanya student biasa ini. Yang saya herankan, kemanapun beliau berjalan, selalu dikelilingi oleh banyak sekali orang-orang America. Ini membuat saya bertanya-tanya...

Izinkan saya menuturkan lebih jauh secuil pengalaman saya selama disana sekitar February 2005 lampau.

Buat saya, dibalik kemegahan Dubai (yang saya pun sempat mengalami keterpesonaan yang sama seperti yang dirasakan Mohammad Sobary), ia menyimpan rahasia konspirasi maha ajaib antara negara adikuasa di dunia ini dengan mereka, para Emirati. Bahkan ketika disana saya sempat mengamini pendapat Mohammad Sobary: bahwa di Uni Emirat Arab, kita bagai melihat surga dunia, atau Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur dalam bahasa al-Qur'an. Lantas Sobary menulis,

"Mengapa para pimpinan negeri itu mampu menyulap padang pasir menjadi "taman firdaus"? Dan mengapa masyarakatnya yang "ayem" dan nyaman itu mengingatkan kita pada baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sedang negeri kita menjadi seperti seonggok mobil tua di tangan montir picisan yang ahli membongkar tetapi tak becus menyusunnya kembali?

Benarkah masyarakatnya merasa 'ayem' dan nyaman?Masyarakat manakah yang dimaksud?

Nyatanya Dubai menyimpan ribuan kisah duka dibalik layar tentang derita para TKI kita yang tak punya daya tawar. Asal teman-teman tahu saja, pekerja di Indonesia kurang lebih tiga ribuan jumlahnya, dan gaji mereka ternyata dibawah standar gaji orang-orang dari negara lain, hanya karena alasan mereka adalah orang yang terlahir sebagai Asian people.

Darimana saya mengetahui itu semua?Saya sempat bersama mereka dua hari, bahkan ikut menumpang di salah satu dari mereka (karena saya tidak mendapat hotel untuk berteduh setelah selesai conference, semua fully booked!). Dari merekalah mengalir kisah-kisah sedih menyesakkan hati saya tentang beratnya perjuangan mencari sesuap nasi di negeri kaya yang ternyata masih dibalut rasisme.

Semula saya belum faham kenapa itu semua terjadi? Apakah daya tawar dan perlindungan hukum pemerintah kita yang tak pernah serius membela mereka, membuat TKI (sang pahlawan devisa) kita itu selalu dipandang rendah dan sebelah mata dibelahan dunia Timur Tengah manapun??? atau hal lain juga menjadi penyebabnya? Ternyata jawabnya adalah terkagum-kagumnya mereka terhadap orang America dan memandang sangat rendah terhadap Asia.

Selama 8 hari disana, saya melihat fakta yang sungguh-sungguh nyata bagaimana memujanya mereka terhadap American people! Saya sempat iseng melakuan penelitian kecil dan mengambil sampel secara acak, dengan mengajak ngobrol Zayed University students sekitar 8 orang. Kesimpulan penelitian sederhana dari interview acak saya tersebut, Emirati students menganggap America adalah penguasa dunia dan kepada mereka lah mereka harus berkiblat, utamanya teknologi. They even said to me, "American people are the best people in the world!" Could you imagine that? Bagaimana hebatnya pesona America buat mereka, bahkan bagi generasi muda mereka.

Lebih jauh saya amati, ternyata seluruh proyek pembangunan megah disana (termasuk al Burj al-'Arab) diarsitekturi dan digarap oleh orang-orang America. Bahkan orang-orang dibalik layar His Highness adalah orang-orang America.

Zayed University sendiri, yang didirikan olehnya ternyata menjadi persemaian benih-benih ghazwul fikri untuk mencintai America. Sejak Rektor hingga dosen paling biasa sekalipun dijabat oleh orang America. Belum cerita dibalik layar tentang hal-hal lain, miris hati saya, menangis saya disana... America sungguh pandai merangkul sang raja dan menjajah tanpa mereka sadari sekalipun! Ini adalah isu duit, duitlah sang raja!

Ketika saya hadir dan mengikuti conference, senyatanya saya gumun dan sedih. Diawal saya berharap akan berjumpa dengan keynote speakers tangguh dari padang pasir selain perempuan-perempuan Barat. Ternyata keynote speakers hanyalah parade pembicara yang diangkut dari America semua (termasuk istri Al Gore).

Duh duh...., dimanakah Nawal el Sa'dawi, Fatimah Mernissi, Riffat Hassan dan lain-lain, yang menggali isu dari sumber asli, Al-Qur'an??? Biarpun mereka dianggap melakukan pendobrakan-pendobrakan nilai yang luar biasa berani (dan dianggap sesat oleh sekelompok orang), mereka tetaplah representasi perempuan-perempuan gurun pasir terkini, yang juga harus dihargai dan duduk sejajar bersama keynote speakers lainnya.

Bahkan, teman-teman peserta conference lainnya (yang entah mengapa 3/4 nya ndilalah juga berasal dari America) mengaku agak kecewa dengan International conference tersebut. Semula mereka berharap akan mendengar suara-suara perempuan lantang dari gurun pasir tersebut, tapi ternyata sesampai Dubai hanyalah mendapati narasumber dari negara asal mereka pula. Mereka bilang, Dubai dalam sisi-sisi wajahnya hanyalah seperti New York dan kota-kota besar lainnya di America tanpa menawarkan keunikan lainnya.

Berkali-kali saya naik taksi sendiri (karena saya tidak mau ikut mobil mewah yang disediakan panitia dan terikat jadwal mereka) sekaligus ingin mengetahui kisah nyata tentang Dubai dari masyarakatnya sendiri. Ternyata..., mereka sangat diskriminatif terhadap immigrant, termasuk pendatang Asia.

Si pak sopir sendiri berasal dari Pakistan, dia mengisahkan tentang sangat syu'ubiyyah (rasa kesukuan)nya orang-orang local (alias Emiratis), termasuk kisah sedih yang menimpa dirinya. Mereka memandang rendah pekerja-pekerja dari negara Asia, terutama Pakistan, India dan Indonesia. Padahal pekerja Indonesia kebanyakan muslim, namun tetap saja baju syu'ubiyyah mereka tak pernah bisa mereka lepaskan!
Si pak sopir juga bercerita, bagaimana standar gaji yang dibeda-bedakan antara pendatang dari Asia dan pendatang dari Eropa atau benua America! Dia bercerita,

"Banyak sekali professor-professor (yang berasal dari India) datang dan mengajar dari Zayed University tak tahan berlama-lama di universitas milik keluarga raja itu, karena ternyata gaji mereka dibedakan dengan dosen-dosen yang berasal dari America dan Eropa, terlebih sikap diskriminatif mereka pun mengemuka dalam berbagai kesempatan...".

Si bapak terus saja bercerita dan saya simak dengan bertanya-tanya, apakah kisah beliau itu benar adanya atau tidak?

Malam setiba di studioku di salah satu five stars hotel yang disediakan gratis untuk kami para presenter, aku dan seorang ibu cerdas kawan sekamarku dari Pakistan berbincang-bincang mengenai fenomena Dubai yang membuat kami takjub!
Obrolan berlanjut hingga kisahku tentang pak supir dan cerita diskriminasinya. Ternyata, teman saya yang hampir selesai PHD-nya di Harvard University itu, mengamini kisah si pak supir.

"Perlu kamu ketahui Ima, aku kesini tidak sekedar mempresentasikan paperku saja, aku diundang oleh Zayed University dan ditawari untuk menempati jabatan di lembaga itu setelah gelar Doctor kudapat dari Harvard. Mereka selama ini telah berkali-kali berusaha menggaet doctor lulusan Harvard untuk meningkatkan nilai jual universitas mereka, namun berkali-kali pula gagal. Maka misiku kesini sekaligus ingin mengetahui langsung seperti apa Zayed University itu, sistem pendidikan mereka dan seterusnya..."

Bergulirlah kisah dari mulut Ibu itu, bahwa setelah dia bertanya kesana kemari, termasuk ke dosen-dosen Zayed University (yang memang menjadi LO kami-kami para peserta), dia menemukan fakta tidak jelasnya latar belakang akademis dosen-dosen America yang mengajar disana. Entah berasal dari lulusan university manakah di America sana. Telah kita mafhumi bersama kan bagaimana tingkat kualitas pendidikan di America yang sangat beragam dari yang terbagus hingga yang paling tidak jelas sekalipun, karena banyaknya public universities. Mrs. Shabna juga menanyakan soal salary, ternyata memang benar, untuk orang Asia, gaji mereka akan dihargai separuh orang America. Gila! Diskriminasi yang luar biasa kan! Ini baru kisah di sektor bisnis pendidikan, belum kisah-kisah miris lainnya. Mungkin akan saya kisahkan terpisah jika teman-teman ingin mengetahuinya.

Hari-hari saya lalui disana, sampailah saya pada kesimpulan terkini; Dubai megah dan mempersona dari luar, namun mentally mereka sangat tergantung dengan America. Duit adalah duit yang mereka hasilkan dari minyak-minyak berlimpah yang dikandung bumi pertiwi mereka, tapi otak dibalik layar adalah America. Sampailah saya pada kesimpulan yang dahulu hanya saya raba-raba, bahwa sungguh sebagian Middle Eastern Countries (including Saudi Arabia) adalah sekutu sejati America.

Jadi, jika Mohammad Sobary menyatakan bahwa:

"Inilah daya dobrak ajaran: lewat ibadah kita mengubah dunia. Dan agama, dengan begini bukan candu masyarakat. Gerak napas agama tak kalah progresif dibanding "praksis revolusioner" yang digrandrungi Marx"

Benarkah begitu adanya? Senyampang seminggu pengamatan saya, yang saya lihat adalah politisasi agamalah yang terjadi dan kita tidak akan menyadarinya tanpa sebelumnya kita terlebih dahulu mengupas kulit-kulit ari terluarnya sebelum nampak kebenaran yang sesungguhnya!

Dalam hal ini kajian ilmu-ilmu politik berkaitan dengan hubungan international antar negara menjadi menarik adanya :-) Barangkali teman-teman lain bisa turut memberi komentar???

*Oleh-oleh berupa pengamatan orang awam seperti saya yang barangkali juga bisa salah!

No comments :